Ahlan wa sahlan Immawan dan Immawati

Selamat datang di rumah kami, IMM Komisariat Pelopor UIN Malang. semoga bisa menikmati sajian yang ada. Fastabiqul Khairot.

Home » » Kesalehan Simbolik

Kesalehan Simbolik

Written By IMM Komisariat Pelopor UIN Maliki Malang on Selasa, 21 Februari 2012 | 16.30


 By: A. Fahrizal Aziz*
 

Tulisan ini, paling tidak telah banyak terinspirasi dari buku-buku karya Moeslim Abdurrahman. Salah seorang intelektual bangsa, yang sangat aktif melayangkan kritik terhadap sikap beragama bangsa Indonesia yang jauh dari substansi ke Islaman. Rujukan tersebut bisa anda baca di tiga judul bukunya: Islam Transformatif, Islam yang memihak, dan Suara Tuhan Suara Pemerdekaan.

Secara kuantitas, jumlah umat Islam di Indonesia adalah yang terbesar didunia. Selain itu dinamika yang terjadi pun juga cukup mencengangkan, mulai dari jumlah masjid, mushola, pesantren hingga sekolah-sekolah berlabel Islam jumlahnya tak karuan di negeri ini. Tak hanya itu, jumlah peserta haji pun juga terbesar didunia.

Melihat jumlah yang sekian besarnya, mungkin setiap yang mengetahuinya akan terperangah takjub. Ternyata potensi kader Islam di Indonesia cukup menggairahkan. Tapi, takjub itu mungkin akan sirna ketika melihat fakta yang terjadi di negeri ini: Korupsi semakin merajalela, jumlah warga miskin semakin memprihatinkan, kasus-kasus kriminal juga tidak pernah luput dari berita keseharian, serta seabrek kasus tak bermoral yang menganak raja di negeri ini.

Lalu apa hubungannya dengan Islam? Jelas sangat berhubungan. Karena esensi dari berislam itu sendiri adalah moral. Ya, sesuai hadits populer yang sering dibaca di majelis-majelis ta’lim : Innama buistu Li utamima makarimal akhlak. Yang membedakan antara kaum kafir dan Muslim pada masa Nabi Muhammad adalah akhlak. Islam datang menawarkan kedamaian dan kesejahteraan hidup, nuansa yang santun, kekeluargaan yang tinggi. Maka ketika Islam turun di Arab, bukankah hal paling menakjubkan adalah: Nabi berhasil mengubah bangsa arab yang mulanya biadab menjadi beradab.

Jadi bangsa yang santun dan berakhlak baik adalah suatu wujud Eksistensi Islam. Karena Islam datang adalah untuk memperbaiki moral yang bobrok. Jika bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim ini ternyata kasus tak bermoral malah riuh terjadi, bukankah seharusnya kita mempertanyakan Eksistensi berislam itu? Buat apa berislam kalau ternyata tidak membawa dampak yang baik bagi kehidupan?

Maka sejauh pengamatan saya, ada satu hal kenapa itu semua terjadi. Karena sebagian besar umat Islam memaknai Keshalehan itu hanya bersifat simbolik saja. Orang yang bersarung, berpeci, memakai sorban, berjenggot dll dianggap sebagai orang yang sholeh. Bukankah itu hanya tataran fisik?

Cinta pada Tuhan dimaknai dengan duduk bersemedi meluap-luap hingga tangis tertumpah tak karuan. Cinta pada Nabi dimaknai dengan memuji-mujinya hingga larut malam, cinta pada Alquran dimaknai dengan membacanya lama-lama hingga serak lantak suara. Apakah itu salah? Saya kira tidak juga, tapi apakah secara substansi itu sudah bisa dikatakan berislam?

Ustad saya bahkan pernah berkata, “jika kalian hafal Asmaul Husna, maka kalian akan masuk surga” maka saya balik bertanya “Apakah hanya cukup dengan menghafal? Alangkah lucunya ketika seorang hafal Asmaul Husna diluar kepala, namun dari sikap pribadinya tidak mencerminkan jiwa penyayang, pengasih, pemaaf dan sifat-sifat yang terkandung dalam Asmaul Husna tersebut.

Alangkah Lucunya ketika orang yang setiap malam meluapkan tangis karena membaca La ilahaillah, namun masih melakukan perilaku syirik dengan mempercayai dukun dan sebagainya. Itu karena budaya kita, orang yang duduk diam di masjid dan berkomat-kamit membaca kitab itu masih dianggap lebih sholeh daripada orang yang berkuah kringat membangun sekolah untuk anak-anak fakir miskin. Padahal membangun sekolah untuk fakir miskin itu telah mengamalkan nilai-nilai Islam secara subtantif dan lebih implementatif.” Ustad malah balik menuding saya berfikiran Liberal, cukup aneh

Itulah yang saya maksud dengan keshalehan simbolik. Bukankah lebih indah ketika memaknai keshalehan itu lebih bersifat substantif. Misalkan mewujudkan cinta terhadap Nabi yaitu dengan meniru dan merefleksikan nilai-nilai Profetik dalam diri, mencintai Alquran tidak hanya sebatas membaca, namun mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Dan sebagainya

Karena sampai saat ini saya masih yakin, jika jalan keluar dari kebobrokan moral yang terjadi di negeri ini masih bisa diatasi jika umat Muslim yang mayoritas ini, tidak lagi memaknai keshalehan secara simbolik (ritual-ritual saja) melainkan lebih substantif dan aplikatif. Wallohu’alam

*Kabid Keilmuan IMM Komisariat Pelopor UIN Maliki Malang
Sampaikan artikel ini ke orang lain :

0 komentar:

Posting Komentar

Assalamualaikum wr. wb

SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH KOMISARIAT PELOPOR UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. IMM Komisariat Pelopor UIN Maliki Malang - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger