Judul diatas jangan diartikan secara harfiah, sebelum anda membaca ujung dari tulisan ini mohon jangan berspekulasi macam-macam. Karena mungkin isinya akan sangat menipu, seperti halnya beberapa potret sekolah akhir-akhir ini yang juga begitu “menipu” public dengan beberapa Jargon andalah mereka. Bahkan tidak sedikit yang menyebut dirinya sebagai sekolah bertaraf Internasional. Sebuah fakta yang lucu, tapi begitu kentara.
Fakta yang hadir akhir-akhir ini cukup mencengangkan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi baru-baru ini diserbu ribuan bahkan jutaan pendaftar. Bahkan tidak sedikit dari sekolah ataupun Perguruan tinggi yang kewalahan hingga akhirnya menolak satu persatu pendaftar yang menurut mereka tidak memenuhi criteria. Entah criteria macam apa, tapi ketika sebuah sekolah sudah berani “menolak” Pendaftarnya, paling tidak telah mendapatkan nilai “prestise” dari Masyarakat sebagai sekolah unggulan dan yang berhasil menjadi siswa atau Mahasiswa di lembaga itu pasti akan sangat berbangga.
Coba kita hitung, berapa kira-kira jumlah lembaga Akademik mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Jika anda tahu, mungkin akan terperangah. Karena berdasarkan data statistik yang saya kutip dari website Kemendiknas, Jumlah lembaga Pendidikan sampai tahun 2009 saja dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas sudah mencapai ratusan ribu. Rinciannya sebagai berikut.
Sekolah dasar sebanyak 144.228, SMP 28.777, SMA 10.762, dan PT 2.975. Jumlah Pendaftarnya pun tidak main-main, mencapai Jutaan (lihat di Web. Kemendiknas). Grafik tersebut adalah fakta jika secara kelembagaan jumlah sekolah kita mengalami peningkatan. Itu berarti jumlah kaum terpelajar semakin hari semakin bertambah, terlebih dengan bergulirnya banyak beasiswa seperti bidik misi dari Pemerintah tersebut, semakin menyuburkan angka Penghuni Perguruan tinggi yang notabene adalah lembaga tertinggi dalam hirarki Intelektual di negeri ini. Lantas apakah kemudian hal tersebut benar-benar menjadi kabar gembira?
Pendidikan yang tinggi, bahkan hingga mencapai level doctor ternyata tidak membuat seseorang menjadi lebih baik. Contoh riilnya ada pada wajah Istana dan Parlemen kita, atau dunia sekitar kita yang setiap hari bergentayangan kaum berseragam yang merupakan murid dari sebuah Lembaga Pendidikan. Dan faktanya, banyak diantara murid lembaga Pendidikan namun perilakunya tidak mendidik. Ya, contohnya seperti yang sering kita temui di media-media. Pejabat yang bergelar akademik tinggi melakukan korupsi, makelar kasus, para pelajar berseragam syuting video mesum dimana-mana, tawuran, dan masih banyak lagi yang lainnya, bukan?
Pendidikan seharusnya menjadi sebuah lembaga yang mampu merekontruksi Jiwa anak didiknya menjadi kaum yang berperilaku mulia seperti yang terangkum dalam sisdiknas. Namun faktanya, malah menjadi suatu lembaga yang paling banyak menelurkan bibit-bibit penghancur. Penghancur bangsa, penghancur moral, dan entah penghancur apa lagi. Meski tidak semuanya seperti itu, tapi perbandingannya sangat besar dan begitu kentara, mungkin satu banding lima. Satu untuk yang baik, dan lima untuk yang bobrok. Lalu, ada apa dengan Pendidikan?
Pendidikan akhir-akhir ini telah mengajarkan anak didiknya untuk men-Tuhankan angka-angka. Ujian Nasional menjadi fenomena paling naas. Sekolah, wali murid, guru, siswa semuanya berkomplot untuk membuat hasil Unas menjadi maksimal meski harus melanggar etika kejujuran. Mahasiswa yang culun, bersikap tak sewajarnya kepada dosen. Menciumi tangan, mencuci kaki, hingga mengirimkan berbagai bingkisan atau yang lebih parah menuruti apa kata Dosen agar mendapat nilai A dan pulang ke kampung halaman dengan predikat Cum Laude setelah itu menjadi sampah baru yang sulit didaur ulang.
Sehingga “angka” terlebih angka “A” kini menjadi sebuah angka keramat yang harus didapat meski harus berkuah darah. Jiwa Pelajar telah tersandra oleh sesuatu hal yang sebenarnya jauh dari nilai-nilai substansial sebuah Pendidikan. Orientasi bukan lagi pada Keilmuan namun lebih pada angka-angka. Maka tak jarang banyak yang kemudian berperilaku menyimpang setelah lulus dari lembaga Pendidikan. Salah siapa? Saya kira bukan sepenuhnya salah individu, karena bagaimanapun juga Individu-individu banyak yang dijebak oleh system yang membuatnya berparadigma seperti itu. Maka sejatinya Pendidikan telah “roboh” tidak hanya roboh secara fisik, tapi lebih pada moral dan intelektual. Maka pantaslah saya menulis judul “roboh”nya sekolah kami.
Maka ada dua pilihan yang kemudian harus menjadi renungan sebagai calon Guru. Yaitu, ikut melestarikan budaya sekarang yang nyata-nyata telah membobrokkan atau menjadi orang yang akan meluruskan. Jika pilihan kedua yang anda pilih, maka bersiap-siaplah untuk menjadi orang yang akan diasingkan. Wallohu’alam
0 komentar:
Posting Komentar